UU BHP Tidak Mengarah Privatisasi Perguruan Tinggi

Jakarta ( Berita ) : Pemerintah dan DPR sepakat melanjutkan pembahasan dan penuntasan RUU bidang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan jika telah menjadi UU maka pemerintah dan DPR akan membatasi kecenderungan munculnya privatisasi dan komersialisasi di dunia pendidikan.

Demikian penjelasan Ketua Panja RUU BHP DPR Anwar Arifin di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (2/06) setelah Rapat Pembahasan RUU BHP bersama Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta.

Dia mengemukakan, dalam menyusun RUU BHP, DPR membutuhkan masukan dari kalangan perguruan tinggi, forum rektor dan majelis-majelis perguruan tinggi. Selain itu juga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Selain membatasi kecenderungan munculnya privatisasi di dunia pendidikan, UU BHP juga mempertahankan keberadaan yayasan yang mendirikan atau mengelola lembaga pendidikan.

“Pihak yayasan tidak perlu khawatir akan dibubarkan dengan adanya UU BHP,” katanya.

Dia mengakui, ada pihak yang khawatir bahwa UU BHP akan menaikkan anggaran pendidikan, termasuk SPP. Karena itu, DPR akan menetapkan bahwa anggaran pendidikan, terutama SPP akan ditetapkan berdasarkan kemampuan orang tua anak didik.

Anggaran akan ditetapkan secara dinamis, proporsional dan menerapkan azas keadilan, artinya, orag tua yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi diharapkan memberi sumbangan pendidikan lebih tinggi, sedangkan orang tua yang miskin kalau perlu anaknya digratiskan.

Â

Walau terlambat

Anggota Komisi X (bidang pendidikan) DPR RI Ferdiansyah mengemukakan, pengajuan RUU BHP meskipun agak terlambat, tetapi tetap penting agar setiap penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan berbadan hukum.

Keberadaan UU BHP sebagaimana amanat UU tentang Sisdiknas akan memperjelas arah dunia pendidikan nasional, namun juga harus memperhatikan ketentuan yang telah ada sebelumnya.

Fraksi Golkar akan konsisten terhadap semangat Pasal 53 UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dan penjelasannya serta akan berusaha keras untuk mensinkronkan dan mengharmoniskan dengan UU lain, seperti UU tentang Guru dan Dosen, UU Yayasan, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara dan UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Ferdiansyah menyatakan, masyarakat pendidikan menginginkan agar UU BHP dapat menjadi “payung” bagi segenap keanekaragaman penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada. Masyarakat menghendaki agar negara tetap menjadi penanggung jawab utama dunia pendidik.

“UU BHP tidak boleh menjadi pintu keluar bagi pemerintah untuk lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan pendidikan yang merata dan bermutu bagi setiap warga negara,” katanya.

Dia juga menyatakan, UU BHP tidak boleh menjadi sarana privatisasi dan komersialisai dunia pendidikan. Dalam kaitan ini, Golkar mengusulkan badan hukum pendidikan berbadan hukum publik dan badan hukum perdata.

Badan hukum pendidikan bagi penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah adalah badan hukum publik yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau peraturan daerah.

Dengan demikian asetnya milik negara dan tenaga pendidiknya adalah PNS.

Badan hukum pendidikan bagi penyelenggara dan satuan pendidikan yang didirikan masyarakat adalah badan hukum perdata yang ditetapkan dengan akte notaris, bersifat nirlaba, transparan dan akuntabel untuk pelayanan bagi peserta didik.

Jika UU Yayasan tidak dapat menjadi ‘payung hukum” bagi satuan pendidikan yang bersifat nirlaba, pendiri dan pengurus yayasan dapat mendirikan badan hukum pendidikan tanpa harus membubarkan yayasan.

“Aset yayasan tetap milik yayasan dan dapat disewakan kepada BHP yang diatur dalam AD/ART yang disusun pendiri,” katanya.

Badan hukum pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah dapat disebut BHPP, sedangkan yang didirikan masyarakat dapat disebut BHPM. (ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar